Alamat Blog :
IDENTIFIKASI WUJUD WACANA PADA MEDIA TULIS DAN AUDIO
VISUAL
AINUN
FADILAH
51706130001
Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan
Universitas
Islam Majapahit
Berikut akan disajikan beberapa identifikasi wujud
wacana pada beberapa media informasi maupun media keilmuan atau pendidikan
yaitu seperti artikel, opini, pidato, berita, film, novel dan cerpen (cerita
pendek). Penjelasannya dapat dilihat di bawah ini:
A.
Identifikasi
Wujud Wacana pada
Artikel
Sebelum mengidentifikasi
sebuah artikel sebaiknya kita terlebih dahulu mengetahui apa itu artikel.
Menurut Sumadiria artikel adalah tulisan lepas berasal dari seseorang yang
mengupas secara tuntas suatu masalah tertentu yang sifatnya aktual atau
kontroversial dengan tujuan untuk memberitahu (informasi), mempengaruhi dan
meyakinkan (persuasif argumentatif), atau mnghibur khalayak pembaca (rekreatif)
(Sumadiria, 2007). Secara uum artikel juga apat dibedakan menjadi
artikel praktis, artikel ringan, artikel halaman opini, dan artikel analisis
ahli (Triandy, 2017).
Selanjutnya
akan dijabarkan dan dijelaskan bagaimana cara mengidentifikasi wujud wacana
artikel “Artikel-Artikel di Media Seword.com” ditinjau dari aspek bahasa, yang
bersumber dari diksi dan kalimat pada artikel-artikel di media daring
seword.com:
1.
Artikel dengan judul “Bersama PKS dan Gerindra Jokowi Bebas
dari Isu PKI”
“Isu
Jokowi PKI sangat kuat dikala Jokowi – Kalla menjadi calon presiden dan wakil
presidn yang diusung oleh partai PDIP, Nasdem, PKB, Hanura yag kala itu melawan
Prabowo-Hatta yang diusung oleh Gerindra, PKS, PAN, PPP, PBB, dan Golkar.
Dipilpres ini isu bahwa Jokowi PKI dan keturunan Cina dipakai untuk
menggoyahkan beliau selain itu PDIP juga diserang sebagai julukan partai PKI.
Mungkin mereka yang menyerang dengan memakai isu itu tidak paham bahwa PDIP
adalah metamorfosis PNI yang dahulu adalah musuh bebuyutan dari PKI”.
Pada kalimat-kalimat diatas
menggunakan diksi secara detail dan menjelaskan fakta yang menggiring pembaca
untuk menyetujui bahwa isu kebangkitan PKI dibuat dan dimobilisasi oleh partai
oposisi pemerintah yang tak lain adalah Gerindra dan PKS.
2. Artikel dengan judul “Si Kunyuk Di Balik Isu PKI, Membongkar
Alasan dan Motivasinya”.
“Zaman
berganti, namun si Kunyuk seerti yang diceritakan Gusdur sepertinya masih ada
hingga saat ini. Yang terus menoba membuat kerusuhan, membangun narasi
provokatif, menakut-nakuti dan sebagainya. Materi andalan si Kunyuk adalah PKI.
Konsisten sejak 2014. Padahal kalau ditanya dimana ada PKI? Tak ada yang bisa
menjawabnya”.
Kalimat-kalimat tersebut mengandung
diksi teka-teki ini terus enerus mempertanyakan dalang yang diduga ebagai
penyebar isu PKI tersebut. Diksi yang juga cukup hiperbolis dengan
mempresentasikan keadaan setelah munculnya isu kebangkitan PKI di Indonesia.
3. Artikel
dengan judul “Taktik Gerindra-PKS
Mobilisasi Isu PKI Sudah Terbaca, Akankah Ganti Taktik?”
“Nah,
sekarang sudah jelas siapa yang paling berpeluang menjadi dalang dibalik
viralnya isu kemunculan PKI. Tokoh-tokoh yang gembar-gembor soal kebangkitan
PKI adalah pendukung Gerindra dan PKS, diantaranya Arif Poyuono, Kivlan Zein
dan Alfian Tanjung”.
Diksi-diksi yang digunakan dalam
kalimat-kalimat tersebut digunakan seolah mempertegas siapa yang menjadi
penggerak kembalinya muncul isu PKI yang sedang marak diperbincangkan
dikalangan masyarakat saat ini.
Melalui
diksi dan kalimat-kalimat yang digunakan pada artikel-artikel diatas, terbukti
bahwa situs seword.com seringkali
menyudutkan pihak Prabowo dan Gerindra sebagai pihak yang dianggap sebagai
dalang yang memobilisasi isu kebangkitan PKI yang dialamatkan kepadanya.
Menurut pandangan Roger Fowler dkk, bahasa sebagai sistem klasifikasi yang
menggambarkan realitas dunia dilihat, memberi kemungkinan untuk seseorang atau
kelompok tertentu mengontrol serta mengatur pengalaman realitas sosial. Tetapi,
sistem klasifikasi antara seseorang, satu kelompok dengan klompok lain akan
berbeda. Hl tersebut dapat terlihat dari pengalaman budaya, sosial, dan politik
yang dimilikinya (Eriyanto, 2011).
B.
Identifikasi
Wujud Wacana pada
Opini
Sekarang ini, para linguis berusaha memasukkan wacana
sebagai salah satu tataran bahasa dengan alasan bahwa komunikasi biasanya
dilakukan dengan rentetan kalimat-kalimat. Rentetan kalimat yang kohesif dan
koheren disebut wacana. Istilah wacana merupakan istilah yang muncul sekitar tahun 1970-an di Indonesia (dari bahasa
Inggris discourse). Wacana memuat rentetan kalimat yang berhubungan,
menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu
kesatuan informasi. Proposisi adalah konfigurasi makna yang menjelaskan isi
komunikasi (dari pembicaraan), atau proposisi adalah isi.
Bahasa digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi antar
sesamanya. Melalui kegiatan komunikasi pikiran,
gagasan, maupun perasaan seseorang dapat tersampaikan kepada orang lain. Bahasa
diungkapkan dalam dua bentuk, yaitu bentuk bahasa lisan dan bentuk bahasa
tulisan. Bahasa lisan lebih ekspresif, sedangkan bahasa tulisan lebih didukung
tata bahasa yang digunakan dalam menuliskan ide sehingga maknanya diterima
pembaca dengan tepat. Penggunaan unsur tata bahasa yang tepat akan membentuk
wacana yang utuh dan padu.
Surat kabar berfungsi sebagai media cetak yang menjadi
satu di antara sarana
masyarakat untuk memperoleh informasi. Selain itu, surat kabar juga
memuat tulisan-tulisan dari masyarakat umum. Kolom
opini dalam surat kabar memang diperuntukkan bagi kalangan masyarakat. Penulis
opini akan menuliskan pandangannya mengenai persoalan tertentu dengan gaya
masing-masing. Dari situ dapat terlihat kecenderungan penggunaan bahasa yang
digunakan penulis.
Penyusunan
wacana tidak hanya disusun berdasarkan “rumus 5 W + 1 H”, yaitu apa (what), di mana (where), kapan (when),
siapa (who), mengapa (why), bagaimana (how), dan “bentuk piramida terbalik” yang mengutamakan perkenalan,
konflik, hingga peleraian. Namun, penulis harus memperhatikan kohesi dan
koherensi penulisan. Keterpaduan (koherensi) dan keterkaitan (kohesi)
diperlukan agar wacana menjadi kohesif dan koheren (Rahmatu).
Kompas adalah surat kabar Indonesia yang berkantor
pusat di Jakarta. Terdapat banyak kolom rubrik di dalam surat kabar Kompas salah satunya rubrik opini.
Rubrik opini menjadi hal yang menarik untuk diteliti karena sebagian besar
bahasa yang digunakan bersifat objektif dan subjektif. Oleh karena itu,
pemilihan kata yang dilakukan penulis dalam wacana opini mempunyai karakter
atau pola pikir masing-masing berdasarkan pengalaman yang dimilikinya.
1. Makna Denotatif
Suwandi (2008: 80) menyatakan bahwa makna
denotatif (denotative meaning) adalah
makna kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas, polos, dan apa adanya.
Makna denotatif didasarkan pada penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar
bahasa atau yang didasarkan atas kovensi tertentu.
Berikut
ini deskripsi makna denotatif pada rubrik opini harian Kompas edisi Maret 2017.
a. Konteks Kunjungan Raja Salman oleh Lalu Muhammad
Iqbal 01/03/2017.
Ini adalah babak
baru dalam hubungan bilateral Indonesia-Arab Saudi setelah kunjungan
terakhir Raja Arab Saudi 47 tahun lalu. |
Pada
kalimat di atas mengandung makna denotatif. Kata babak dalam arti sebenarnya menerangkan bahwa kalimat di atas
bermakna denotatif. Kata babak
memiliki makna (1) bagian besar dalam drama atau lakon (terdiri atas beberapa
adegan); (2) bagian dari suatu keseluruhan proses, kejadian atau peristiwa
(KBBI, 2014: 108). Kata babak dalam
konteks kalimat di atas yakni suatu proses atau peristiwa baru dalam hubungan
bilateral Indonesia-Arab Saudi setelah kunjungan terakhir Raja Arab Saudi 47
tahun lalu. Sehingga dilihat dari konteks kalimatnya sesuai
dengan makna sebenarnya atau kenyataannya.
b.
Gerakan
Murka dalam Demokrasi oleh F Budi Hardiman 02/03/ 2017.
Populisme bimbang
antara demokrasi perwakilan dan demokrasi plebisit. |
Pada
kalimat di atas mengandung makna denotatif. Kata bimbang dalam arti sebenarnya menerangkan bahwa kalimat di atas bermakna
denotatif. Bimbang memiliki makna (1)
(merasa) tidak tetap hati (kurang percaya); ragu-ragu; (2) (merasa) khawatir;
cemas (KBBI, 2014: 193). Kata bimbang
dalam konteks kalimat di atas sesuai dengan nomor (1), hal ini sesuai dengan
kenyataannya bahwa populisme ragu-ragu menentukan pilihan antara demokrasi
perwakilan dan demokrasi plebisit.
c.
Gerakan
Murka dalam Demokrasi oleh F Budi Hardiman 02/03/ 2017.
Ada alasan yang perlu diperhitungkan mengapa
populisme menerjang prosedur. |
Pada
kalimat di atas mengandung makna denotatif. Kata menerjang dalam arti sebenarnya menerangkan bahwa kalimat di atas
bermakna denotatif. Kata menerjang memiliki makna (1) menendang; menyepak (ke
bawah atau kedepan); (2) menyerang; menyerbu; (3) melanggar; menubruk;
menyeruduk; (4) melewati arus (KBBI, 2014: 1452). Kata Menerjang pada konteks
kalimat di atas sesuai dengan nomor (3), melanggar prosedur. Sehingga dilihat
dari konteks kalimatnya sesuai dengan makna sebenarnya.
2.
Makna Konotatif
Menurut Chaer (2012: 292) makna konotatif adalah
makna lain yang “ditambahkan” pada makna denotatif yang berhubungan dengan
nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Jadi
dapat disimpulkan bahwa makna konotatif merupakan makna yang muncul akibat dari
perasaan atau pikiran seseorang terhadap apa yang dicapkan maupun yang
didengar.
Berikut ini deskripsi makna konotatif yang
terdapat pada rubrik opini harian Kompas
edisi Maret 2017.
a.
Konteks
Kunjungan Raja Salman oleh Lalu Muhammad 01/03/ 2017.
Presiden Bush bahkan menyebut Iran bagian dari “persekutuan iblis” (axis of evil). |
Pada
kalimat di atas mengandung makna konotatif. Makna konotatif ditunjukkan oleh
frasa persekutuan iblis. Persekutuan iblis dalam konteks
kalimat tersebut berarti orang-orang jahat yang memiliki kepentingan sama.
Namun dalam makna sebenarnya berarti persatuan makhluk halus yang selalu
berupaya menyesatkan manusia. Sehingga kalimat tersebut bermakna konotatif.
b.
Gerakan
Murka dalam Demokrasi oleh F Budi Hardiman 02/03/ 2017.
Para pemimpin mereka membakar emosi massa dengan ujaran-ujaran kebencian kepada para
imigran, minoritas, bahkan kepada otoritas yang sah. |
Pada
kalimat di atas mengandung makna konotatif. Makna konotatif pada konteks
kalimat tersebut ditunjukkan oleh frasa membakar
emosi. Membakar emosi pada konteks kalimat di atas memancing atau
mempengaruhi keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis seseorang. Kata membakar sering berkaitan dengan api.
Kata membakar dalam makna sebenarnya
berarti (1) menghanguskan (menyalakan, merusakkan) dengan api; (2) memanggang
(memanaskan) supaya masak (KBBI, 2014: 121). Namun dalam konteks kalimat di
atas membakar dikaitkan dengan emosi. Sehingga kalimat di atas bermakna konotatif.
c.
Aspek
Ekonomi Kunjungan Raja oleh A Tonny Pra-setiantono 03/03/ 2017.
Hal paling menarik dari perekonomian terkini
Arab Saudi adalah mereka sedang terpukul oleh runtuhnya harga minyak, lalu “banting setir” menjalankan reformasi
yang struktural. |
Pada
kalimat di atas mengandung makna konotatif. Frasa banting setir yang menjadikan kalimat tersebut bermakna konotatif. Banting setir disini berarti
meninggalkan kebiasaan. Sehingga mengalami pergeseran dari makna sebenarnya
yakni banting setir berarti memutar kemudi dengan mendadak. Oleh karena itu,
jelas sekali kalimat tersebut bermakna konotatif.
d.
Aspek
Ekonomi Kunjungan Raja oleh A Tonny Pra-setiantono 03/03/ 2017.
Karena itu, kunjungan Raja Salman ke Indonesia bisa diibaratkan sebagai “sambil menyelam minum air”. |
Pada
kalimat di atas mengandung makna konotatif. Makna konotatif pada konteks
kalimat tersebut ditunjukkan oleh kata diibratkan
dan frasa sambil menyelam minum air.
Kata diibaratkan memiliki makna (1)
perkataan atau cerita yang dipakai sebagai perumpamaan (perbandingan, lambang, kiasan); (2)
isi (maksud, ajaran); (3) seumpama. Frasa sambil
menyelam minum air pada konteks kalimat tersebut berarti dapat melakukan
lebih dari satu pekerjaan dalam waktu yang sama. Sehingga kalimat
tersebut bermakna konotatif karena terdapat unsur kias di dalamnya.
C. Identifikasi
Wujud Wacana pada Pidato
Berikut akan dipaparkan identifikasi bentuk atau wujud
dari wacana yang diambil pada pidato Ahok di Kepulauan Seribu dengan tujuan
pada identifikasi ini yaitu mengidentifikasi 3 bagian yaitu dari segi pemakaian
kata pada pidato Ahok, lalu komponen wacana kritis, dan identifikasi implikatur
pada pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang diperoleh dari media youtube. Berikut uraiannya:
1. Identifikasi
Wujud Pemakaian Kata
Pidato Ahok di Kepulauan Seribu banyak menggunakan kata ganti orang
(pronomina). Pronomina yang muncul adalah kata ganti orang petama tunggal
(saya), kata ganti orang pertama jamak (kita dan kami). Dapat dilihat dalam
data di bawah ini:
1)
“Saya, kalau ke pulau seribu,
saya ingat kampung saya. Makanya, waktu saya turun, saya lihat
pak lurah, saya panggil pak kades, karena tahunya kades”.
Kata
ganti pertama tunggal sangat banyak dipakai oleh Ahok.Kata ganti orang pertama
tunggal tersebut mengacu pada pembicara itu sendiri, yaitu Ahok. Pemakaian kata
ganti orang pertama tunggal “saya” mengindikasikan bahwa Ahok menonjolkan diri
atau menunjukan eksistensinya sebagai gubernur, yang dalam hal ini gubernur
memiliki kapasitas di atas kepala desa atau lurah. Inilah yang disebutkan oleh
Norton (1997) sebagai identitas sosial (social identity). Dalam ranah kajian
dan analisis wacana kritis, bahwa penggunaan kata “saya” menunjukan
hubungan kekuasaan dan dominasi Ahok sebagai sebagai kepala daerah yang tentu
levelnya jauh di atas kades maupun lurah.
2)
“Seluruh
dunia sudah berbicara budi daya dan kita dikaruniai tempat yang begitu
luas”.
Kata ganti “kita” menunjukan bahwa Ahok
ingin mengajak atau melibatkan pendengar yang ada di kepulauan seribu. Kata “kita” ditunjukan sebagai persamaan
rasa memiliki, yaitu sama-sama memiliki kepulauan seribu. Artinya Ahok, dalam
hal ini, ingin melibatkan diri bahwa dia juga merasa dikaruniai, sehingga dalam
teks ini ahok ingin melibatkan dirinya bersama pendengar.
3) “…kami akan bagikan ke koperasi, kami gak
ambil uang tapi sekarang gak bisa karena kami gak tau siapa..”
Jika
pada penggalan data pertama, Ahok lebih menonjolkan dirinya sebagai gubernur,
namun pada penggalan ketiga ini, Ahok melibatkan dirinya dengan anggota DPR,
DPRD, Bupati, Kepala Dinas dan lurah. Kata ‘kami’ menunjukan bahwa Ahok beserta
jajaranya terlibat atau Ahok melibatkan para jajaranya dalam pidato yang
disampaikan. Ini menunjukan bahwa ada keterlibatan aspek kekuasaan yang
dimunculkan oleh ahok, di mana ada ketidak setaraan antara jajaran pemerintah
dengan para masyarakat (audiences).
2. Identifikasi
Wujud Komponen Wacana Kritis
Pidato
yang dikemukakan seseorang biasanya dapat dianalisis dalam bentuk analisis
wacana kritis. Wacana kritis merupakan suatu upaya penyelidikan yang dilakukan
menggunakan analisis penggunaan bahasa dalam suatu kejadian (Jorgensen & Phillips dalam Arif Bulan, 2018 : 52).
Kejadian-kejadian ini bersifat komunikatif yang berfungsi sebagai bentuk
praktik sosial melalui hubungannya dengan tatanan wacananya. Kejadian
komunikatif dan tatanan wacana ini berkaitan dengan penggunaan bahasa dan
digunakan dalam bidang sosial (Fairclough dalam
Arif Bulan, 2018 : 52).
Fairclough
(dalam Arif Bulan, 2018 : 55) mengemukakan
bahwa komponen yang membentuk
dalam analisis wacana kritis pada pidato ada tiga bagian, yaitu struktur sosial
(kelas, status, usia, identitas, suku, dan ras), budaya, dan penggunaan bahasa.
a. Struktur
Sosial
Halliday (dalam Santoso, 2018 : 5-6) berpendapat bahwa struktur
sosial biasanya hadir dalam bentuk-bentuk interaksi semiotis dan menjadi nyata
melalui keganjilan dan kekacauan dalam sistem sistematis. Struktur sosial ini
biasanya juga tampak muncul adanya fenomena kekaburan dalam bahasa. Kekaburan
bahasa ini merupakan bagian dari ekspresi dinamis dan tegangan sistem sosial.
Kekaburan bahasa ini dipilih sebagai bentuk mewujudkan ketaksaan, pertentangan,
kebencian, dan ketidaksamaan.
b. Budaya
Komponen
budaya digunakan untuk menginformasikan melalui suatu bahasa. Seorang penutur
dapat mengkodekan pengalaman kulturalnya dan pengalaman individu tertentu (Halliday dalam Santoso, 2018 : 5). Konteks
budaya juga saling berhubungan dengan konsteks sosial. Kedua konteks ini saling
menyatu sama lain, baik dalam pembetukannya maupun dalam suatu pemahamannya.
c. Penggunaan
Bahasa
Penggunaan
bahasa ini digunakan dalam menganalisis fenomena komunikasi yang penuh dengan
kesenjangan, yaitu adanya ketidaksetaraan relasi antarpartisipan. Penggunaan
bahasa ini juga memberikan landasan yang kokoh untuk menganalisis suatu
kejadian yang nyata, misalnya dalam politik, media massa, komunikasi
multicultural, iklan, perang, dan relasi gender. Penggunaan bahasa memunculkan
hasil yang bersifat alamiah. Penggunaan bahasa juga diangap sebgai
asumsi-asumsi sebuah kebenaran yang tanpa pembuktian serta mempercayai
pengetahuan umum. Kata-kata seperti pandangan dunia, teori, hipotesis, atau
ideology dianggap sebagai akal sehat. Fowler (dalam
Santoso, 2018 : 7-8) berpendapat bahwa semua kata-kata itu adalah
distorsi. Kata-kata merupakan sebuah interpretasi atau representasi dari pada
sebuah refleksi. Implikasi dari penggunaan bahasa ini membuat masyarakat
menjadi begitu percaya bahwa teorinya tentang cara kerja dunia adalah refleksi
alamiah, bukan sebagai refleksi
buatan.
Berikut adalah contoh dari penggalan pidato
Ahok.
“Nah waktu saya jadi Bupati, saya memimpikan, itu
budidaya, karena manusia ini, makin lama makin banyak.”
Kalimat
di atas merupakan bahwa Ahok sedang menceritakan masa lalunya ketika masih
menjabat sebagai Bupati. Kalimat tersebut memunculkan struktur sosial.
Penggunaan bahasa Ahok berpidato seperti pada kalimat tersebut, berusaha
menunjukkan status dan kelas sosialnya.
3. Identifikasi
Wujud Implikatur
Implikatur merupakan ungkapan yang memiliki makna yang berbeda dengan
makna yang tersirat. Penggalan pidato
Ahok dalam data menggunakan kalimat yang mengandung makna tersirat berupa
implikatur.
“Saya selalu tegaskan
sama bapak ibu
juga jangan juga terpengaruh, ini urusannya dengan
Pilkada ya, saya mau ingatin, kalo ada yang
lebih baik dari saya, kerja lebih
benar dari saya, dia lebih jujur dari
saya, bapak ibu jangan pilih saya bapak ibu kalau pilih saya
bapak ibu bodoh, masa kalo punya duit beli motor Jepang beli motor cina, mau
nggak? Harganya sama beli motor Jepang atau beli motor Cina gua tanya? Motor
Jepang dong, jadi kalo ada yang lebih bagus dari saya lebih baik dari saya, jangan pilih saya
jadi gubernur bapak ibu, pilih dia.
Silakan tanding, jika ada yang lebih baik dari saya, terbukti
lebih baik dari saya jangan pilih saya bapak ibu, sangat fair!.”
Makna yang tersirat dari penggalan wacana data diatas , yaitu bahwa
sebenarnya Ahok berharap para pendengar
memilih Ahok saat
Pemilukada, namun frasa ‘pilihlah saya’ tidak diungkapkan oleh
Ahok. Ahok lebih memilih beberapa kata yang memang menuju pada apa yang
sebenarnya harapan dan keinginannya. Implikatur dari tuturan tersebut yakni
diharapkan pendengar pidato tersebut memaknai apa yang dimaksud
oleh Ahok. Dalam konteks tersebut Ahok tidak mengatakan ‘pilih saya karena saya
lebih baik’, dia sangat memahami bahwa konteks saat itu bukanlah momen
kampanye, namun hanyalah momen kunjungan kerja. Itulah yang melatarbelakangi
bahwa penggalan wacana dalam data tersebut adalah wacana implikatur karena
termuat keinginan tersirat dari
pembicara.
D.
Identifikasi
Wujud Wacana pada Teks Berita
Berikut
ini akan dipaparkan indentifikasi atau bentuk dari teks berita yang diambil
pada teks berita criminal
pembunuhan dan penganiayaan yang terdiri dari 2 yakni struktur makro dan
superstruktur. Untuk struktur makro menjelaskan tentang topic atau tema berita,
untuk superstruktur menjelaskan tentang judul da nisi dari berita tersebut
beriku penjelasan tentang identifikasi
bentuk wacana pada teks berita sebagai berikut:
Berita Kriminal
Kategori Pembunuhan dan Penganiyaan
1. Struktur
Makro (Tema/Topic)
(Polisi Cari Pembunuh Sartika), “Polres Rokan Hilir
melakukan operasi yang kian intensif, dalam mencari pelaku pembunuhan terhadap
Sartika”.
Dari
kutipan diatas, melalui elemen tema digambarkan bahwa dalam rangka pencarian
pembunuh Sartika, jajaran Polres Rokan Hilir bekerja secara maksimal, dari
kalimat “Polres Rokan Hilir melakukan operasib 87 yang kian intensif dalam
mencari pelaku pembunuhan Sartika”. Kalimat yang “kian intensif”, mengartikan
bahwa adanya upaya kerjakeras yang dilakukan oleh jajaran kepolisian. Hal ini
menunjukkan bahwa keinginan wartawan/penulis memaparkan kesigapan pihak
kepoilisian dalam hal ini Polsek Rokan Hilir.
(“OknumPolisi Aniaya Penjaga Warnet”), Oknum polisi tidak mau membayar
biaya tagihan warnet senilai Rp. 83 ribu, lalu oknum polisi tersebut menganiaya
Sahabinu seorang penjaga wanet.
Dari
kutipan diatas, melalui elemen tema digambarkan bahwa telah ada laporan kepada
pihak kepolisian tentang oknum polisi yang menganiaya penjaga warnet, “Orang
yang mengaku Habibi, oknum polisi Polres Taluk Kuantan” Dari elemn tema
menggambarkan dengan jelas bahwa adanya penjelasan pelaku penganiyaan yang
dilakukan oeleh orang yang berprofesi sebagai polisi. Hal itu jelas ideiologi
penulis/wartawan dalam menyembunyikan ideologinya yang berpihak kepada korban
dalam hal ini Sahabinu dan menyudutkan pelaku penganiaya.
“Petani Kebun Dibacok, Kepalanya Pecah”, Muin
dibunuh Orang Tak Kenal (OTK), dengan pecah dikepalanya akibat dibacok benda
tajam oleh pelaku.
Dari
kutipan diatas, penulis / wartawan melalui elemn topic menjelaskan kejadian
pembunuhan sadis yang dilakukan oleh OTK. 88 Dengan menjelaskan kondisi korban
“Mu’in di bacok kepalanya hingga pecah”. Hal itu terlihat bahwa ideology
penulis yang disampaikan lewar elemn tema dengan menggambarkan kejadian
pembunuhan sadis.
“Terdakwa mengaku dapat tekanan dan pukulan saat
diperiksa), Eri Setiawan mengaku mendapat tekanan dan pukulan saat dilakukan
penyidikan oleh tim penyidik polisi.”
Dari
kutipan diatas, menggambarkan bahwa terjadi diskriminasi terhadap terdakwa saat
dilakukan pemeriksaan oleh tim penyelidik polisi. Hal iu terlihat jelas bahwa
penyembunyian ideology yang sampaikan lewat elemen topic/tema berpihak kepada
korban dalam hal ini Eri Stiawan.
2. Superstruktur
a. Judul
Berita
“Polisi Cari Pembunuh Sartika”
Dari
kutipan judul
berita diatas, dapat dilihat bahwa penulisan judul dengan menggunakan kalimat
aktif “polisi” diletak sebagai pelaku pencarian pembunuh. Penulisan seperti ini
benar disana menggambarkan bahwa ada upaya intensif yang dialkukan polisi dalam
mencari pembunuh sartika. Hal tersebut menggambarkan bahwa ideology penulis/
wartawan yang berpihak kepada pihak kepolisian.
b. Lead
Berita
“Pasca Terungkapnya identitas korban pembunuhan
bernama Sartika Silalahi (21), yang manyatnya ditemukan pada senin 89 (25/7)
lalu diareal perkebunan Afdeling VIII, Blok U-37 Kepenghuluan Bagan Manunggal,
Kecamatan Bagan Sinembah pihak polsek kian intensif mencari pembunuh dan apa
motif dibalik pembunuhan keji itu.”
Dari
kutipan diatas, melalui elemen lead penulis / wartawan memasukkan opini dengan
memberikan semantic dengan kalimat “kian intensif”. Kalimat ini mengartikan
bahwa ada upaya maksimal yang dilakukan oleh kepolisian dalam mencari pembunuh
Sartika. Hal itu jelas terlihat ideology penulis/ wartwan yang berpihak kepada
kepolisian.
E.
Identifiksi
Wujud Wacana pada
Film
Berikut
ini akan dijelaskan cara mengidentifikasi wujud wacana film “The Iron Lady”
ditinjau dari Keterbungkaman Perempuan, Eksistensi Perempuan, dan Representasi
Perempuan:
1.
Keterbungkaman
Perempuan
Masalah subordinasi wanita dan
dominasi patriarki sejalan dengan sebuah teori mengenai terbungkamnya sebuah
kelompok karena ada kuasa yang lebih dominan yang datang dari kelompok lain. Teori ini disebut sebagai the muted group theory. Teori ini
berfokus pada keberadaan kelompok
minoritas atau subordinat sebagai kelompok yang terbungkam atau terbisukan, yang tak
dapat menyuarakan kepentingan karena disepelekan bahkan dianggap tidak ada.
Kelompok ini merasa tak punya kuasa sebab kekuasaan dipegang oleh kelompok yang
dominan. Di tengah dominasi kelompok yang berkuasa kelompok ini memilih untuk
diam atau bungkam, sehingga mereka menjadi kelompok yang terabaikan dan tak
terlihat.
Keterbatasan bahasa tidak hanya
membatasi wanita dalam mengeluarkan pendapat dari pemikirannya,tetapi juga
secara tidak adil justru direpresentasikan menurut perspektif laki-laki. Shirley Ardener (West & Turner, 2010)
menyatakan bahwa kebisuan wanita adalah akibat dari ketulian telinga laki-laki.
Meskipun wanita berbicara, tetap saja perkataannya membentur telinga yang tuli.
Hal itu mengakibatkan wanita akhirnya menyerah dan mulai berhenti untuk
menyuarakan suara mereka, bahkan mulai berhenti juga untuk berpikir bahwa
mereka memiliki hak pasti untuk mengeluarkan
pendapat.
Menurut Kramarae (West &
Turner, 2010:481), ada tiga asumsi penting dalam teori Muted Group ini. Pertama, wanita merasa bahwa dunia mereka berbeda
dengan laki-laki karena dasar pengalaman dan aktivitas pekerjaan yang berbeda.
Kedua, dominasi politik laki-laki membuat sistem persepsi laki-laki pun
dianggap dominan, sehingga menghalangi kebebasan berpekspresi wanita. Ketiga,
dalam keikutsertaannya berpartisipasi di masyarakat wanita kemudian harus
bertransformasi model atau gayanya sendiri dan menukarnya dengan sistem
berekspresi laki-laki.
Pembisuan terhadap wanita tidak
hanya melalui kekuatan perkataan, tetapi juga dengan cara membentuk dan
mengontrol pembicaraan pihak lawan. Pembisuan ini akan terus terjadi dalam
lingkungan sosial selama ada pihak yang berkuasa penuh, dan ada pihak yang
tidak punya kuasa apapun. Pembisuan ini terwujud dalam berbagai bentuk. Contoh
yang paling jelas adalah ritual setelah menikah: wanita akan cenderung memakai
nama suaminya sebagai identitasnya yang baru. Dominasi pria sepertinya menjadi
hal yang sulitditembus. Akhirnya wanita berusaha memahami laki-laki sebagai
individu dan kemudian membandingkannya dengan dirinya sendiri, sehingga ia
dapat membuat identifikasi sempurna atasnya. Ia mengerjakan rencana-rencananya
dan merawat yang dimilikinya dengan cara yang tidak dapat ditiru oleh
laki-laki. Ia bekerja menurut caranya dan dengan gayanya sendiri.
2.
Eksistensi
Perempuan
Dalam semua segi wanita harus
menjadi seperti laki-laki, berkompetisi layaknya laki-laki, melakukan apapun
yang layak dilakukan laki-laki, dan berpikir seperti laki-laki. Namun demi
didengar dan tidak lagi terbungkam, para wanita harus terlebih dahulu mengalah
untuk menang. Dalam artian sebagai others, wanita harus mengubah dirinya sesuai
dengan keinginan ”kelompok” selfs; menjadi others sesempurna yang diinginkan
oleh self. Sehingga dengan demikian wanita lambat laun berproses menjadi self.
Wanita menjadi bukan lagi sosok yang dipandang sebelah mata, tetapi
bertransformasi menjadi sosok yang begitu digandrungi dan dibutuhkan oleh semua
pihak.
Dalam proses menuju transendensi,
menurut Beauvoir (Tong, 2006:274), ada tiga strategi yang dapat dilakukan oleh
wanita. Pertama, wanita harus bekerja. Tentu saja Beauvoir sendiri menyadari
bahwa bekerja dalam kapitalisme yang patriarkal bersifat opresif dan
eksploitatif. Namun betapapun kerasnya dan melelahkannya pekerjaan wanita, hal
tersebut akan memberikan kesempatan dan kemungkinan bagi wanita, yang jika
tidak dilakukan, mereka akan kehilangan kesempatan itu sama sekali. Dengan
bekerja di luar rumah bersama laki-laki, maka wanita dapat merebut kembali
transendensinya. Wanita akan secara konkret menegaskan statusnya sebagai
subjek, sebagai seorang yang secara aktif menentukan arah nasibnya. Kedua,
wanita dapat menjadi seorang intelektual. Kegiatan intelektual adalah kegiatan
ketika seseorang berpikir, melihat, dan mendefinisi, bukan sebaliknya. Ketiga,
wanita dapat bekerja untuk mencapai transformasi sosialis masyarakat. Salah
satu kunci bagi pembebasan perempuan adalah kekuatan ekonomi, suatu poin yang
ditekankan Beauvoir dalam setiap diskusi mengenai perempuan mandiri. Lingkungan
tentu saja akan membatasi usaha mereka untuk mendefinisikan diri. Maka jika
wanita ingin mewujudkan semua yang diinginkannnya, ia harus menciptakan
masyarakat yang akan menyediakan dukungan material untuk mentransendensikan
batasan yang melingkarinya sekarang.
Wanita yang beremansipasi adalah
wanita yang ingin aktif dan bertanggungjawab akan sesuatu, serta menolak
pasivitas yang biasa ditekankan laki-laki padanya. Mereka akan menempatkan
tubuh di atas semangat, dan kebijaksanaan di atas ketegasan. Wanita modern
lebih kompromis demi mengejar transformasi menjadi self. Mereka menerima nilai-nilai maskulin, bangga akan dirinya
sendiri untuk berpikir, mengambil tindakan, bekerja, dan mencipta dalam term yang sama dengan laki- laki.
Daripada berusaha mengatakan sesuatu yang menyatakan bahwa mereka mempunyai
nilai penting yang kecil, wanita justru mendeklarasikan dirinya sebagai sosok
yang patut diperhitungkan.
Thatcher
kemudian mengubah penampilannya demi mendapatkan
pengakuan akan kemampuan politisnya, akan kecerdasannya memikirkan dan
memutuskan strategi-strategi kenegaraan.
Salah satu hal yang juga dia perlihatkan ketika mengundang Menteri luar Negeri
USA untuk datang dan membicarakan tentang persekutuan untuk “Falkland Island”
di Argentina. Ketika menteri luar negeri itu datang, ia disambut secara baikdan
hangat. Sebelum memastikan bahwa menteri tersebut berada di pihaknya, Thatcher mempersuasinya dengan
perkataan:“Let your mother, care about
you.” Dalam teks tersebut Thatcher menyiratkan
maksud bahwa apapun yang terjadi nanti, jika USA mau berada di pihak Inggris
Raya, kehidupan mereka akan tenteram, tidak kekurangan apapun, karena ibunyalah
yang memikirkan sekaligus menjalankan strateginya.
Wanita yang berdandan–berpenampilan
baik termasuk dalam kategori berdandan–adalah wanita yang sedang berusaha untuk
mendapatkan pengakuan yang absolut terhadap kecantikan, keanggunan, cita rasa,
dan dirinya sendiri sebagai manusia yang utuh (Beauvoir, 2004). Meskipun memang
tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan masyarakat yang menuntutnya memamerkan
yang dia miliki baik secara fisik maupun secara psikis. Wanita tahu persis
bahwa ketika ia diperhatikan, ia tidak akan dianggap terpisah dari
penampilannya. Ia dinilai, dihormati, dan diinginkan melalui penampilannya.
Wanita harus selalu menjaga kerapihannya karena masyarakat tidak memaafkan
kecerobohan melekat pada dirinya.
Menurut Beauvoir (2004), wanita
intelektual mengetahui bahwa ia tengah menawarkan dirinya, ia mengetahui bahwa
ia adalah makhluk yang sadar, sebuah subjek. Wanita intelektual akan mencoba
semua cara dengan lebih keras karena ia takut gagal. Wanita intelektual
(Beauvoir, 2004), segera setelah ia merasa gelisah, ia menjadi jengkel dengan
kerendahannya, ia ingin melakukan pembalasan dengan turut bermain dengan
senjata maskulin. Ia berbicara, bukan mendengar, ia menunjukkan pikiran-pikiran
yang tajam, ia melawan laki-laki, bukan lagi berdamai dengan mereka. Ia mencoba
mendapatkan yang terbaik dari laki-laki untuk memperoleh kemenangan yang
mengagumkan.
Wanita yang patut diperhitungkan,
yang dipandang sebagai diri, sebagai seseorang adalah wanita yang mampu menjadi
superwoman. Ia tidak hanya berhasil
dan menang dalam pergumulannya di lingkungan kerja, tetapi juga berhasil
menjadi seorang ratu di rumah tangganya, di lingkungan keluarganya. Kaum
laki-laki sudah mulai menyerahkan dirinya pada status baru yang dimiliki oleh
perempuan (Beauvoir, 2004). Perempuan yang bekerja justru memegang kukuh dan
lebih menunjukkan rasa bangga akan feminitasnya. Perempuan yang bekerja justru
semakin memancarkan pesonanya. Perempuan yang mandiri, yang memiliki otonomi secara
finansial menjadi sosok yang kemudian memiliki hak-hak istimewa, sama seperti
akses dan hak-hak yang dimiliki oleh laki-laki. Keberhasilan ini telah
menunjukkan kemajuan atas proses transformasi perempuan dari other menjadi self.
Setiap wanita harus menggariskan
kehidupannya sendiri. Situasi hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya
menghambat wanita. Namun tidak satupun dari penghambat itu yang dapat
memenjarakan wanita secara total. Menurut Carol Ascher (Tong, 2006:282),
“manusia membuat keputusan untuk melepaskan diri dari atau bertahan dengan
harus menghadapi tingkat hambatan yang berbeda-beda. Pada kondisi tertentu
tidak ada keputusan positif yang mungkin diambil, meskipun demikian, keputusan
tetap diambil, dan setiap individu harus bertanggung jawab atas keputusan
tersebut.”
3.
Representasi
Perempuan
Representasi menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan
atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Ada dua hal penting dalam
representasi. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut
ditampilkan sebagaimana mestinya. Ini mengacu pada apakah seseorang atau
kelompok itu diberitakan apa adanya, ataukah diburukkan. Penggambaran yang
tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan
seseorang atau kelompok tertentu. Di sini hanya citra yang buruk saja yang
ditampilkan sementara citra atau sisi yang baik luput dari pemberitaan. Kedua,
bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Dengan kata lain, kalimat,
aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan
tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.
Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau objek
tersebut ditampilkan. Menurut John Fiske
(Surwati, 2012) paling tidak ada tiga proses dalam menampilkan objek,
peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang. Pada level pertama adalah
peristiwa yang ditandai sebagai realitas. Dalam bahasa gambar ini umumnya
berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan, dan ekspresi.
Pada level kedua, ketika seseorang memandang sesuatu sebagai realitas dan
bagaimana realitas itu digambarkan. Yang digunakan disini adalah perangkat
secara teknis, misalnya kata atau kalimat. Ini membawa makna tertentu ketika
diterima oleh khalayak. Pada level ketiga,
bagaimana peristiwa tersebut
diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis dan bagaimana kode-kode
representasi dihubungakan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti
kelas sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.
Dari film “The Iron Lady”, Thatcher menyatakan
suara dan pendapat-pendapatnya dengan banyak kiasan. Dia mengubah penampilannya
sedemikian rupa untuk menunjukkan kelasnya. Gaun bermotif houndstooth, potongan rambut dengan set di bawah telinga, dan
perhiasan mutiara (signifier),
merepresentasikan wanita kelas atas dan intelektual Inggris (signified).
F. Identifikasi
Wujud Wacana pada Novel
Nurgiyantoro
mengemukakan bahwa novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia
yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun
melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh dan
penokohan, latar, dan suddut pandang yang kesemuanya bersifat imajinatif,
walaupun semua yang direalisasikan pengarang sengaja dianalogilan dengan dunia
nyata tampak seperti sungguh ada dan benar terjadi, hal ini terlihat sistem
koherensinya sendiri. Menurut Tarigan kata novel berasal dari kata latin
novelius yang pula diturunkan pada kata noveis yang berarti baru. Dikatakan
baru karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis karya sastra lain seperti
puisi, drama, dan lain-lain maka jenis novel ini muncul kemudian (Yanti, 2015). Novel dapat dijadikan sebagai
analisis wacana.
Berikut
ini anaisis wacana pada novel Negeri Para Bedebah karya Tere Liye yang ditinjau
dari dimensi teks, dimensi praktis kewacanaan, dan dimensi praktis
sisiokultural.
1.
Dimensi Teks
Novel
Negeri Para Bedebah karya Tere Liye yang ditinjau dari dimensi teks yaitu:
Aku melompat,
tanganku bergerak cepat hendak memukul Randy sekalian menguji apakah sarung
tinjuku sudah sempurna mencengkeram. “Dasar bedebah! Ternyata kau yang sengaja menghambatku di loket
imigrasi.”(NPB, 2012:28)
Kata bedebah pada novel Negeri Para
Bedebah karya Tere Liye menurut KBBI memiliki arti celaka (sebagai makian).
Bedebah pada novel ini memiliki hubungan makna ideologis dengan pejabat
pemerintahan yang memiliki kekuasaan dan wewenangnya dengan tujuan sengaja
menggunakannya. Kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan
ini tidak digunakan untu kepentingan bersama melainkan dengan kepentingan
pribadi atau golongannya sendiri. Hal ini dapat dilihat pada teks novel sebagai
berikut:
“Baiklah, jika
ini yang ingin kau ketahui. Aku tidak akan menutupinya.” Aku meremas rambut,
setengah sebal menatapnya. “Om Liem melanggar banyak regulasi, itu benar. Dia
ambisius, memanfaatkan banyak koneksi untuk memuluskan bisnisnya, dan begitu
banyak kejahatan lainnya, itu benar. Dia jelas bedebah. Tapi aku baru semalam
menyadari ada yang keliru dengan penutupan Bank Semesta. Ada bedebah yang lebih
jahat lagi di luar sana. Om Liem sudah berjanji akan mengganti seluruh uang
nasabah, tidak akan mengunyah satu perak pun uang mereka. (NPB, 2012:109)
Pada teks novel di atas dapat
terlihat penggunaan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan sendiri yaitu,
bahwa para pejabat pemerintahan ingin menutup bank semesta. Bank semesta
merupakan bank yang dikelola oleh om Liem. Om Liem salah dalam mengelola bank
semesta karena om Liem menggunakan kekuasaan itu dengan tujuan agar dekat
dengan para pejabat tersebut, tetapi disisi lain om Liem sebagai korban para
pejabat pemerintahan demi keuntungan pribadi maupun golongan para pejabat
tersebut. sehingga hal tersebut mendorong Thomas untuk menyelamatkan bank
semesta untuk sebuah harga diri.
2.
Dimensi Praktis
Kewacanaan
Novel Negeri Para Bedebah karya
Tere Liye dapat ditinjau dari dimensi praktis kewacanaan yaitu:
“Jika itu
terjadi, jika Bank Semesta akhirnya diselamatkan komite stabilitas sistem
keuangan nasional, itu jelas akan menjadi skandal perbankan terbesar di negeri
ini. Semua pihak, terutama media massa, LSM, lembaga, individu yang masih
memiliki integritas akan menuntut dilakukan penyelidikan, diusut tuntas. Nah,
sebelum itu terjadi, kita harus menyumpal sebanyak mungkin pihak terkait.
Pejabat pemerintah, partai politik, petinggi institusi, kroni, teman, kolega,
bahkan bila perlu pengurus organisasi olahraga, apapun itu. Semakin banyak yang
menerima kucuran uang haram itu, maka jangankan melakukan penyelidikan secara
sistematis dan besar-besaran, menggerakkan satu pion petugas penyidik saja
mereka tidak kuasa. Seluruh penjara di negeri ini penuh dengan komisi
pemberantasan korupsi berani mengutak-atik kasus penyelamatan Bank Semesta.
(NPB, 2012: 255-256)
Teks novel di atas bertujuan
memberitahu para pembaca bahwa dunia politik pada negeri ini sangat
menjijikkan, memalukan dan memuakkan. Bagi masyarakat Indonesia sendiri tidak
ada kebanggan untuk dunia politik di negerinya sendiri. Pada teks novel di atas
juga menggunakan kalimat yang sangat mudah dipahami oleh para pembaca sehingga
memberikan ruang gerak pandangan masyarakat untuk membenci pejabat
pemerintahan, partai politik, petinggi institusi, dan rakyat yang hidup
menderita sebagai pengurus organisasi politik yang hidup dalam kekuasaan.
3.
Dimensi Praktis
Sosikultural
Novel Negeri Para Pedebah Karya
Tere Liye ditinjau dari dimensi praktis sosikultural adalah:
...Aku melintasi
meja imigrasi dengan mudah. Namaku dicekal, tapi aku kenal anak buah Randy yang
menjaga loket-salah satu anggota klub petarung lainnya yang menjadi petinggi
imigrasi bandara. Bahkan dua hari lalu aku juga berniat melarikan Om Liem ke
luar negeri, tapi berubah pikiran, kembali turun dari pesawat..... (NPB, 2012:
403)......Pidato petinggi partai di podium semakin hebat. Dia sedang semangat
membahas visi kebangsaan, cita-cita partai segaris lurus dengan cita-cita
pendiri negara. Peserta konvensi tampaknya semakin meneriakkan kata “Merdeka”
di setiap akhir kalimat petinggi partai... (NPB, 2012: 327-328)...Opini tentang
penyelamatan Bank Semesta sudah ramai disebut-sebut oleh pengamat dan wartawan
di berbagai media massa. Pertemuan dengan petinggi Bank Semesta dan lembaga
penjamin simpanan sudah kulakukan. Audiensi dengan menteri sekaligus ketua
komite stabilitas sistem keuangan sudah terjadi, bahkan pion terakhir, putra
mahkota, sudah kuletakkan di atas papan permainan... (NPB, 2012: 388-389)
Pada teks novel di atas para
petinggi seenaknya sendiri memberikan keputusan penting tanpa bukti dan
fakta-fakta yang telah terjadi. Dan para nasabah bank tidak diberikan
kompensasi sesuai dengan peraturan yang telah dituliskan. Para nasabah yang
baik dianggap lemah dan para petinggi pemerintah, politik, dan institusi menipu
rakyat melalui penjaminan simpanan. Rakyat dan om Liem hanya bisa pasrah ketika
para petinggi marah.
G. Identifikasi
Wujud Wacana pada Cerpen (Cerita Pendek)
Berikut
ini akan dijelaskan cara mengidentifikasi wujud wacana cerpen “Tinggal Matanya
Berkedip-Kedip” karya Ahmad Tohari ditinjau dari analisis situasi, sosial
budaya, serta penanda kohesi gramatikal dan leksikal.
- Analisis Situasi
Si
Cepon adalah seekor kerbau yang gagah perkasa dan telah banyak berjasa sebagai
pembajak sawah. Namun, belakangan binatang itu menjadi binal dan jalang
sehingga ayah si ”aku” (pencerita) merasa pusing karena tidak dapat membajak
sawahnya. Oleh karena itu, sang ayah meminta bantuan pawang yaitu Musgepuk yang
sudah dikenal pandai menjinakkan kerbau jalang. Namun, usaha Musgepuk mengalami
kegagalan karena Musgepuk hanya behasil merobohkan si Cepon. Dengan robohnya si
Cepon itu mengisyaratkan kegagalan Musgepuk sebagai pawang yang sering bangga
dengan keahliannya.
Dari aspek situasi tokoh
utama, yaitu si Cepon akhirnya roboh. Robohnya si Cepon justru menyebabkan
hancurnya kewibawaan Musgepuk sebagai pawang binatang peliharaan. Musgepuk yang
terlalu membanggakan kepiawaiannya menjinakkan bintang peliharaan menjadi tidak
berdaya di hadapan si Cepon yang justru tidak melakukan perlawanan apa pun.
- Analisis Sosial Budaya
Cerpen ”Tinggal Matanya
Bekedip-kedip” berlatar budaya masyarakat Jawa, terutama masyarakat Jawa dari
kelas sosial masyarakat bawah. Penanda dari kelas sosial masyarakat bawah
adalah nama tokoh-tokohnya yang dihadirkan pengarang seperti si Cepon dan
Musgepuk. Dalam konteks ini pengarang menempatkan si Cepon sebagai wakil dari
tokoh yang tidak berdaya menghadapi kekuasaan tokoh yang memiliki ”power”,
yaitu Musgepuk. Si Cepon dapat dikatakan sebagai simbol dari ”wong cilik”
yang tidak memiliki keberdayaan dan kekuatan untuk melawan orang yang memiliki
kekuasan dan kekuatan. Dalam cerpen ini pengarang menceritakan suatu kondisi
sosial masyarakat kita, terutama masyarakat kecil yang selalu terpinggirkan.
Melalui simbol yang diberikan Ahmad Tohari melalui cerpen ”Tinggal Matanya
Berkedip-kedip”, ia ingin mengingatkan bahwa kekuasan dan kekuatan seorang
pemimpin sebenarnya ditunjang oleh kekuatan ”wong cilik”. Tanpa adanya
dukungan masyarakat, kekuatan seorarng pemimpin tidak ada apa-apanya. Kekuatan
dan kekuasaan seorang pemimpin akan mudah runtuh saat tidak ada lagi didukung
dari masyarakatnya.
Musgepuk yang mahir dalam
menjinakkan segala macam hewan ternak, tetapi memliki sifat yang sombong
akhirnya kehilangan segalanya ketika si Cepon sama sekali tidak mereaksi segala
perintahnya. Ia kehilangan kewibawaannya saat ia tidak dapat mengembalikan
fungsi si Cepon sebagai pembajak sawah di hadapan tokoh ayah dan tokoh aku.
- Analisis
Penanda Kohesi Gramatikal
Analisis pada aspek wacana
gramatikal dalam wacana meliputi: pengacuan, penyulihan, pelepasan, dan
kunjungsi. Berikut pemaparan aspek gramatikal dalam cerpen “Tinggal Matanya
Berkedip-kedip”.
1)
Pengacuan
a.
Pengacuan
Persona
”Musgepuk
bersungut-sungut. Dan uring-uringan. Semangatnya rontok. Aku, meskipun
belum lama sunat, bisa mengerti perasaannya”.
Pada cuplikan tersebut
terdapat pengacuan persona pertama tunggal bentuk bebas aku yang
mengacu pada si anak pemilik kerbau yang bernama Cepon.
b.
Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif dapat dibedakan menjadi tiga
yakni pronomina demonstratif penunjuk, pronomina demonstratif waktu (temporal),
dan pronomina demonstratif tempat (lokasional). Demonstratif penunjuk misalnya,
kata ini dan itu. Demonstratif waktu terdiri atas waktu sekarang,
lampau, akan datang, dan waktu netral. Demonstratif tempat terdiri dari tempat
dekat, agak dekat, dan jauh.
“Tidak seperti pada
tahun-tahun yang lalu, musim penghujan kali ini ayah dibuat pusing oleh si
Cepon”.
Pada cuplikan data tersebut terdapat penanda demonstratif temporal waktu
lampau yaitu frase yang lalu.
c.
Komparatif
Komparatif adalah
membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari
segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dll.
“Kepalanya seperti
terpaku mati pada leher. Seakan dia telah mendapat pelajaran bahwa sedikit saja
kepalanya bergerak berarti tali kaluh akan menggesek luka pada sekat lubang
hidungnya”.
Pada cuplikan data tersebut satuan lingual seperti membandingkan
kepala si Cepon yang sulit untuk digerakkan
karena ada tali kaluh yng menggesek pada sekat lubang hidung Cepon. Kata seperti
diperkuat pada baris berikutnya dengan kata seakan yang menjelaskan
kalimat yang sama.
2)
Penyulihan/ Substitusi
a.
Substitusi
Nomina
“kami
tidak menyangka akhirnya si Cepon, kerbau kami, rubuh di tengah sawah yang
hendak dibajak”
Pada cuplikan data tersebut
satuan lingual si Cepon digantikan dengan satuan lingual Karbau kami.
b.
Substitusi
Kalimat
“Terdengar
suara-suara mendesis pertanda miris. Tetapi suara itu membuat Musgepuk makin bertingkah”.
Pada cuplikan data tersebut
satuan lingual kata itu menggantikan
suara-suara mendesisi pertanda miris.
3)
Pelepasan
Pada cerpen “Tinggal Matanya
Bekedip-kedip” umumnya pelepasan berupa kata seperti pada contoh data berikut:
“Kami
tidak menyangka akhirnya si Cepon, kerbau
kami rubuh d tengah sawah yang hendak dibajak”. (Benar-benar rubuh tak
berdaya).
Pada cuplikan data tersebut
terdapat pelepasan satuan lingual berupa kata si Cepon, kalimat itu sebelumnya di lepasan berbentuk: Kami tidak menyangka akhirnya si Cepon,
kerbau kami rubuh di tengah sawah yang hendak dibajak. Si Cepon benar-benar rubuh tak berdaya.
4)
Konjungsi
Pada cerpen “Tinggal Matanya
Berkedip-kedip” terdapat konjungsi seperti pada data dibawah ini.
“Roman
muka si Cepon, terutama matanya, bahkan
ternyata bisa menunjukkan sikap pasrah total”
Konjungsi pada cuplikan
tersebut menegaskan bahwa roman muka si Cepon, terutama matanya ternyata bisa
menunjukkan sikap pasrah total.
4. Analisis
Leksikal
Aspek leksikal adalah hubungan
antarunsur dalam wacana secara semantis. Dalam analisis ini hanya dibahas
mengenai repetisi dan sinonim. Berikut ini adalah pemaparan aspek-aspek
leksikal yang dijumpai dalam cerpen ”Tinggal Matanya Berkedipkedip”.
1) Repetisi
Repetisi adalah perulangan
satuan lingual yang dianggap penting untuk memberikan tekanan dalam sebuah
konteks yang sesuai (Wijaya, 2013).
Pada cerpen “Tinggal Matanya
Berkedip-kedip” terdapat repetisi seperti pada data dibawah ini
:
(1)“Aku seorang diri telah berhasil telah
menankap si Cepon dan merebahkannya.
Seorang diri”.
Pada cuplikan data tersebut terdapat
repetisi anafora. Repetisi anafora (Qudus, 2013) yaitu pengulangan kata/frasa pertama pada baris
berikutnya. Repetisi ini berfungsi untuk menekankan pentingnya makna kata/frasa
yang diulang pada tiap baris tuturan tersebut.
Pada frasa “seorang diri” pada kalimat pertama diulang kembali pada
frasa pertama kalimat kedua. Pada tuturan diatas, repetisi anafora dimanfaatkan
untuk menyampaikan dan meyakinkan bahwa si tokoh “aku” telah berhasil menangkap
Cepon seorang diri tanpa bantuan dari orang lain.
(2) “Tetes
darah makin sering meluncur dari hidung kerbau kami membuat rona merah di atas
lumpur melebar dan melebar”.
Pada data (2) di atas terdapat repetisi epizeukis. Repitisi Epizeuksis adalah perulagan satuan lingual
atau kata yang di pentingkan berapa kali secara berturut-turut
(Wijaya, 2013). Pengulangan tersebut
terdapat pada kata “melebar” yang digunakan untuk memberi tekanan atau
penegasan pada kalimat sebelum dan sesudahnya, bahwa darah yang keluar dari
hidung kerbau telah bercucuran di atas lumpur sangat banyak.
2) Sinonim
Sinonim digunakan untuk menjalin
hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual lain dalam wacana.
(1) Musgepuk,
seorang laki-laki yang kuat dan bermuka
kukuh sudah dikenal sebagai pawang bagi segala macam ternak yang dipelihara
para petani.
Pada data (1) di atas terdapat sinonim
pada kata kuat dan kukuh. Pada penggalan kalimat di atas, kedua
kata tersebut digunakan untuk menegaskan bahwa Musgepuk merupakan seseorang
yang banyak tenaga, tidak mudah dikalahkan dan mampu menjadi pawang bagi segala
macam ternak.
DAFTAR PUSTAKA
Qudus, R. (2013). Analisis Kohesi
Leksikal Dalam Novel Dom Sumurup Ingbanyu Karya Suparto Brata. Jurnal
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah
Purworejo , 86-90.
Wijaya, H. (2013). Analisis Wacana Lirik Lagu “Wasiat Renungan Masa” Karya
Tgkh. M. Zainuddin Abdul Majid Tinjauan Kontekstual Dan Situasi Serta
Aspekgramatikal Dan Leksikal. Jurnal EducatiO , 76.
Liye, T. (2012). Negeri Para
Bedebah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yanti, C. S. (2015). Religiositas Islam dalam Novel Ratu yang Bersujud Karya Amrizal Mochamad
Mahdavi. Jurnal Humanika , 3.
Wahyuningtyas, B. P. (2014). REPRESENTASI KEKUATAN, KECERDASAN, DAN CITA
RASA PEREMPUAN: ANALISIS WACANA PADA FILM "THE IRON LADY". HUMANIORA,
Vol. 5 (1), hal. 32-37.
Arif Bulan, K. (2018). Analisis Wacana Kritis pada Pidato Ahok di
Kepulauan Seribu. Transformatika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya,
51-57.
Sari, N. K. (2020). Analisis Framming Pemberitaan Pidato Menteri Nadiem
Makarim Pada Peringatan Hari Guru Nasional. Jurnal Dinamika Pemerintahan,
12-22.
Aisah, I Wayan
Pastika, & I.G.N.K Putrayasa.(2017).
Kohesi dan koherensi paragraf pada
tribun news dalam jaringan (Daring). Jurnal Humanis: Vol. 20, No . Agustus 2017
Sholikhati, I.N.,
dan Mardikantoro, B.H.(2017). Analisis
tekstual dalam konstruksi wacana berita korupsi di metro tv dan net dalam
perspektif analisis wacana kritis norman fairclough.Seloka.Vol 6 No 2
(2017): Agustus 2017
Eriyanto. (2011). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks
Media . Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang.
Sumadiria, H. (2007). Menulis Artikel dan Tajuk Rencana.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Triandy, R. (2017). Pembelajaran Mengidentifikasi Ide Pokok
Dalam Artikel Dengan Metode Inquiry pada Siswa Kelas X SMA Pasundan 2 Bandung. Literasi.
Oktasari,
A. F. (2015). Analisis Wacana dalam Surat Kabar Jawa Pos Kolom Opini, Jati
Diri. Jurnal Interaksi, Vol. 10, No. 1, 27.
Rahmatu, H.
A. (n.d.). Kohesi Dalam Wacana Opini Media Tadulako. 1-15.
Riska
Kusumawati, D. S. (2017). Makna Interpersonal Teks Opini Kasus Basuki Tjahja
Purnama (Ahok) Dalam Kolom Opini Harian Kompas dan Repubika . Jurnal
Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Vol. 3, No. 2, 123-134.
Siti Rohmawati, F. S. (2014). Kohesi Leksikal Kolom "Opini" oleh
Aswandi dalam Surat Kabar Pontianak Post Edisi Juli-Desember 2013. Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa, Vol. 3, No. 8, 8.
No comments:
Post a Comment